WELCOME

ROH KE KAUM BEAK KU

Selasa, 24 April 2012

BUDAYA “KHARISMA POLITIK KYAI”


Oleh ; Saripuddin
Sampai saat ini kyai masih mempunyai peranan penting dalam kehidupan berpolitik di Indonesia. Hal ini dapat dijumpai dibeberapa tempat yang kental dengan budaya jawa dan tradisi masyarakat pesantren. Bagaimana kyai mempunyai peranan penting dalam politik ? dalam tulisan ini akan membicarakan bagaimana budaya politik kyai.
Dibeberapa tempat yang pernah saya singgahi, ada banyak kemiripan dibeberapa daerah. Walaupun kyai tidak memiliki peran langsung dalam politik namun pengaruhnya sangat kuat dalam kehidupan berpolitik, khususnya dikalangan masyarakat agamis (Islam). Kyai berperan secara tidak langsung, kita dapat melihatnya disaat kader-kader politik berusaha mendapatkan pengaruh dimasyarakat. Beragam bentuk pendekatan dilakukan politikus demi memperoleh dukungan seorang kyai.
Dalam masyarakat pedesaan budaya sungkem seorang pemimpin (kepala desa atau lurah misalnya) kepada kyai masih banyak ditemukan. Budaya ini masih ditemui dibeberapa daerah di Indonesia. Pada saat-saat menjelang pemilihan kepala desa misalnya dukungan dari kyai sangat mempengaruhi pendapatan suara. Calon yang tidak memperoleh dukungan salah satu kyai yang ada, ia akan merasa kurang pantas. Terkadang hal ini menyebabkan terjadinya calon tunggal didalam sebuah pemilihan kepala desa, kadang calon yang tidak mendapat restu dari kyai memilih mundur sebelum diadakannya pemilihan.
Sudah menjadi jargon, yang menyatakan masyarakat yang ikut apa kata kyai/ulama maka ia akan selamat. Budaya ini belum tergerus oleh perkembangan zaman walaupun pergeseran-pergeseran nilai terus terjadi setiap masa. Kharisma kyai merupakan senjata paling mujarab untuk mendapatkan pengaruh dimasyarakat, dan masyarakatpun secara sadar menerima.
Ketaatan terhadap Tuhan, cita-cita umah, komunitas politik keagamaan rupanya dijadikan insvestasi untuk mendapatkan atribut-atribut transendental dan keselamatan (salvation).1
Dalam pemilihan kepala desa atau lurah dibeberapa tempat lingkungan pesantren, mereka akan mempertanyakan “dia santrinya pak yai bukan?”. Dan biasanya calon yang berasal dari santri seorang kyai terkemuka akan banyak dipilih oleh masyarakat. Hal ini disebabkjan kepercayaan terhadap kyai masih sangat tinggi, bukan saja kharisma seorang pemimpin secara personal namun sudah mengarahkan kepada penilaian latar belakang, hubungan mereka dengan tokoh kharismatik (kyai).
Politik yang membawa nama besar seorang kyai sudah menjadi budaya yang begitu kental. Meski sudah ada batasan bahwa kyai hanya bertugas mengurus umat dan tidak mau terlibat kedalam politik praksis. Keberadaan kharismanya masih dimanfaatkan untuk kepentingan politik.
Setelah menjadi pemimipin, budaya sungkem terhadap kyai tidak pernah ditingalkan, hal ini rupanya untuk melatenkan kekuasaan. Agar dukungan dari kyai tidak lepas, berapa upayapun dilakukan. Bahkan lawan politik tidak jarang yang mempengaruhi kyai untuk mengalihkan dukungannya. Untuk melangengkan kekuasaan maka seorang pemimimpin berusaha meminta nasihat yang akan dijalankan didalam kebijakan politiknya.
Kebijakan-kebijakan kepala desa misalkan, ia akan mengutamakan bebepa program yang berkaitan dengan keagamaan. Semakin banyak dukungan terhadap kepentingan kyai maka semakin strategis mendapatkan simpati masyarakat. Hal ini pernah terjadi dan saya saksikan, Singkat cerita pada pemilihan wakil daerah pemilu tahun lalu seorang anggota fraksi dari partai PKB memberikan sedekah buat pembangunan masjid didesa kami. Sepontan kharisma dimasyarakat sangat kuat sehingga mendominasi perolehan suaradi TPS kami. Selain itu Ada beberapa kesan yang tidak bisa dilupakan begitu saja, persepsi-persepsi yang menilai kader tersebut dermawan dan dekat dengan tokoh kharismatik memungkinkan menjadi alasan kemenangan yang mutlak.
Sedekah menjelang pemilu juga telah menjadi budaya politik, walau terkesan sebagai money politic hal ini tidak dapat dikatakan sebagai suatu pelanggaran dalam hukum adat. Semakin banyak sumbangan yang diberikan untuk kepentingan agama semisal dalam pembangunan masjid dan pesantren maka hubungannya dengan kyai semakin erat. Kyai tidak pernah berkampanye secara langsung untuk mengkampanyekan salah satu kader, namun kedekatan kader politik dimata kyai menjadi isu yang dituturkan dari mulut kemulut.
Bukan budaya suap yang dimaksud dalam budaya politik ini, namun hubungan yang erat yang terjalin begtu lama sehingga jasa-jasa kader politik berupa sedekah, sumbangannya dalam mendukung kegiatan agama selalu diperhitungkan di masyarakat. Selain itu sifatnya berbentuk personal dari kekayaan pribadi, sasaran sedekah tidak dberikan kepada kyai secara personal namun bersifat kelembagaan. Meski begitu, budaya masyarakat pesantren sangat sensitif terhadap bentuk penyimpangan. Apabila terdapat penyimpangan, konsekuensinya kader plotik akan kehilangan kepercayaan, apalagi jika seorang kyai sudah mencapnya, memvonis ketidak layakan seorang kader.
Peran santri dalam menyebarkan berita disekitar pesantren kepada masyarakat memiliki peran penting. Banyak politikus menyekolahkan anaknya di pesantren demi mendapatkan simpati dan pengaruh diligkungan pesantern bersangkutan. Jauh hari sebelum terjun kedunia politik, orang mempunyai pandangan strategis dari kebijakan lokal. Menempatkan anak kedalam pesantren bertujuan untuk memperluas pengaruh. Fenomena seperti itu banyak dipraktikan dan ternyata sudah lama menjadi budaya yang tersembunyi yang masih kurang mendapat kritikan.
Budaya perkawinan berbau politis demi mendapatkan secercah (cipratan) kharisma dari kyai juga sudah tidak asing. Hubungan keluarga dengan kyai diburu untuk memperoleh kepopuleran dalam dunia politik. Budaya “bebesanan” kalau dalam istilah jawa. Fenomena ini sudah menjamur sejak lama, bisa dilihat dalam sejarah para kyai yang memiliki kharisma dimasyrakat, mereka mengawinkan putra putrinya dengan orang-orang yang memiliki pengaruh yang cukup besar. Perkawianan antar anak kyai, bertujuan menjaga garis keturunan mereka untuk tetap berketurunan ulama. Merupakan salah satu bentuk budaya pernikahan yang dibarengi unsur politis, demi melanggengkan status quo.
Kembali pada budaya politik kyai, pada dasarnya budaya politik Islam menempatkan seorang ulama (kyai) dalam posisi strategis, dalam menentukan aturan. Penguasa berperan sebagai penegak aturan untuk mempersatukan ummah. Karakteristik politik ini memang sudah merupakan bawaan semenjak awal mula kemunculan Islam. Hukum Islam yang merupakan hukum syariah adalah hukum suci yang digencarkan ulama atau pemimpin keagamaan Islam.
Identitas komunitas keagamaan dimantapkan (terutama menurut hukum suci-syariah) yang dilancarkan oleh pemimpin keagamaan, yakni kaum ulama dan diselenggarakan oleh para penguasa. Didalam kelompok ini berkembang suatu hubungan yang sangat unik didalam kalangan ulama merupakan golongan yang pasif secara politik atau patuh kepada para penguasa kendati dalam menjalankan fungsi legal agamanya para ulama ini masih tetap merupakan golongan yang otonom. (lihat J. Schacht “ Law and Justice” dalam Holt dkk.,Cambridge History of Islam)
Jadi identitas kebudayaan Islam dalam prakteknya ditegakan oleh kerangka hukum dan dibawa oleh para ulama, dan dilindungi oleh para penguasa yang bercita-cita ingin mempersatukan kembali kaum ummah. Dalam kerangka ini dalam sejarah Islam kita melihat suatu peralihan yang tetap antara kenaikan pergerakan politik keagamaan yang mengarah pada transformasi rezim politik yang menyeluruh melalui cara-cara haram seperti pembunuhan dan pemberontakan, dan dengan pendirian dunia spiritual yang kuat dengan kepasifan hukum, yang membantu tegaknya karakter despotis suatu rezim. (Eisenstadt Revolusi dan Transformasi Masyarakat)
dari kutipan diatas saya hanya ingin menggambarkanm, bahwasannya budaya politik Islam secara universal bisa dibayangkan begitu adanya. Lalu bagaimana pengaruhnya terhdap budaya politik di Indonesia? Bagi masyarakat jawa terutama yang yang akrab dalam dunia pesantren dimana kyainya masih sangat berpengaruh, hal seperti diatas masih dapat diarasakan. Artinya tidak secara mutlak kyai berpengaruh dalam pembuatan aturan-aturan, namun ada kebijakan tertentu yang merupaka legitimasi dari kebijakan kyai.
Kyai selalu diminta pendapatnya dalam pengambilan keputusan penguasa. Semisal dalam pemerintahan desa peraturan atau etika lokal sangat ketat menurut ajaran Islam. Contohnya peraturan pelarangan pendirian tempat hiburan yang dapat merusak akidah uamat, contohnya hiburan malam seperti bar, diskotik, tempat perjudian, minuman keras, tempat pelacuran dan lain-lain. Bahkan ada beberapa kearifan lokal yang masih dipertahankan yang sumbernya berasal dari kyai. Ditempat tertentu penguasa bukanlah satu-satunya orang yang mutlak yang dapat mengesahkan sesuatu. Contohnya pada saat seorang warga berniat mengadakan pesta dengan hiburan pentas dangdut atau layar tancap (sejenis hiburan bioskop). Maka kyailah yang mempertimbangkan acara tersebut diizinkan atau tidak, posisi penguasa atau lurah biasanya hanya formalitas.
Apa yang dilakukan penguasa dalam upaya mempertahankan status quonya memiliki teori yang sangat relefan dengan fenomena diatas. Usaha untuk melatenkan kekuasaan terdapat dalam salah satu teori yang dikemukakan Talcott Parsons. Talcott Parsons menyebutkan perluya pemeliharaan pola atau latency, yang artinya sistem harus mampu melengkapi, memelihara, dan memperbaiki, baik motivasi individual maupun pola cultural yang menciptakan dan mendorong motivasi.2
Hal tersebut telah banyak dilakukan para kyai dalam mempertahankan stastus quo, dan tak heran teori tersebut sejalan dengan apa yang dijalankan didalam budaya kyai.
Dari beberapa fenomena politik yang dibahas dalam tulisan ini memang penulis sengaja mencoba memaparkan secara fenomenalogis garis-garis terdepan yang dapat ditemukannya ruh sosiologi politik. Masih banyak lagi budaya politik dalam masyrakat pesantren diantaranya adalah budaya dakwah, poligami, dan pengajian. Mengapa ketiga hal itu saya definisikan kedalam budaya politik. Tentu ada alasan, dimana ditempat tertentu ketiga hal tersebut menjadi alat bagi kyai untuk memperluas pengaruh. Salah satunya budaya poligami dikalangan kyai, kemugkinan ada unsur politik mempoligami beberapa anak kyai lain agar terjalin kekeluargaan dimana-mana, dan otomatis pengaruhnya semakin luas.
Kadang pengajian dan dakwah dijadikan senjata politis kyai untuk mempengaruhi masyartakat. Kasus yang pernah terjadi ketika seorang kyai mempengaruhi masyarakat untuk melakukan perlawanan terhadap rezim otoriter Soeharto dari adanya kasus Tanjung Priuk. Dakwahnya memiliki sepirit hinnga membakar masyarakat untuk melengserkan Soeharto atas pelanggaran HAM yang terjadi di Tanjung Priuk.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar