Oleh ; Saripuddin
Sampai
saat ini kyai masih mempunyai peranan penting dalam kehidupan
berpolitik di Indonesia. Hal ini dapat dijumpai dibeberapa tempat yang
kental dengan budaya jawa dan tradisi masyarakat pesantren. Bagaimana
kyai mempunyai peranan penting dalam politik ? dalam tulisan ini akan
membicarakan bagaimana budaya politik kyai.
Dibeberapa
tempat yang pernah saya singgahi, ada banyak kemiripan dibeberapa
daerah. Walaupun kyai tidak memiliki peran langsung dalam politik namun
pengaruhnya sangat kuat dalam kehidupan berpolitik, khususnya dikalangan
masyarakat agamis (Islam). Kyai berperan secara tidak langsung, kita
dapat melihatnya disaat kader-kader politik berusaha mendapatkan
pengaruh dimasyarakat. Beragam bentuk pendekatan dilakukan politikus
demi memperoleh dukungan seorang kyai.
Dalam
masyarakat pedesaan budaya sungkem seorang pemimpin (kepala desa atau
lurah misalnya) kepada kyai masih banyak ditemukan. Budaya ini masih
ditemui dibeberapa daerah di Indonesia. Pada saat-saat menjelang
pemilihan kepala desa misalnya dukungan dari kyai sangat mempengaruhi
pendapatan suara. Calon yang tidak memperoleh dukungan salah satu kyai
yang ada, ia akan merasa kurang pantas. Terkadang hal ini menyebabkan
terjadinya calon tunggal didalam sebuah pemilihan kepala desa, kadang
calon yang tidak mendapat restu dari kyai memilih mundur sebelum
diadakannya pemilihan.
Sudah
menjadi jargon, yang menyatakan masyarakat yang ikut apa kata kyai/ulama
maka ia akan selamat. Budaya ini belum tergerus oleh perkembangan zaman
walaupun pergeseran-pergeseran nilai terus terjadi setiap masa.
Kharisma kyai merupakan senjata paling mujarab untuk mendapatkan
pengaruh dimasyarakat, dan masyarakatpun secara sadar menerima.
Ketaatan
terhadap Tuhan, cita-cita umah, komunitas politik keagamaan rupanya
dijadikan insvestasi untuk mendapatkan atribut-atribut transendental dan
keselamatan (salvation).1
Dalam
pemilihan kepala desa atau lurah dibeberapa tempat lingkungan pesantren,
mereka akan mempertanyakan “dia santrinya pak yai bukan?”. Dan biasanya
calon yang berasal dari santri seorang kyai terkemuka akan banyak
dipilih oleh masyarakat. Hal ini disebabkjan kepercayaan terhadap kyai
masih sangat tinggi, bukan saja kharisma seorang pemimpin secara
personal namun sudah mengarahkan kepada penilaian latar belakang,
hubungan mereka dengan tokoh kharismatik (kyai).
Politik
yang membawa nama besar seorang kyai sudah menjadi budaya yang begitu
kental. Meski sudah ada batasan bahwa kyai hanya bertugas mengurus umat
dan tidak mau terlibat kedalam politik praksis. Keberadaan kharismanya
masih dimanfaatkan untuk kepentingan politik.
Setelah
menjadi pemimipin, budaya sungkem terhadap kyai tidak pernah
ditingalkan, hal ini rupanya untuk melatenkan kekuasaan. Agar dukungan
dari kyai tidak lepas, berapa upayapun dilakukan. Bahkan lawan politik
tidak jarang yang mempengaruhi kyai untuk mengalihkan dukungannya. Untuk
melangengkan kekuasaan maka seorang pemimimpin berusaha meminta nasihat
yang akan dijalankan didalam kebijakan politiknya.
Kebijakan-kebijakan
kepala desa misalkan, ia akan mengutamakan bebepa program yang
berkaitan dengan keagamaan. Semakin banyak dukungan terhadap kepentingan
kyai maka semakin strategis mendapatkan simpati masyarakat. Hal ini
pernah terjadi dan saya saksikan, Singkat cerita pada pemilihan wakil
daerah pemilu tahun lalu seorang anggota fraksi dari partai PKB
memberikan sedekah buat pembangunan masjid didesa kami. Sepontan
kharisma dimasyarakat sangat kuat sehingga mendominasi perolehan suaradi
TPS kami. Selain itu Ada beberapa kesan yang tidak bisa dilupakan
begitu saja, persepsi-persepsi yang menilai kader tersebut dermawan dan
dekat dengan tokoh kharismatik memungkinkan menjadi alasan kemenangan
yang mutlak.
Sedekah menjelang pemilu juga telah menjadi budaya politik, walau terkesan sebagai money politic
hal ini tidak dapat dikatakan sebagai suatu pelanggaran dalam hukum
adat. Semakin banyak sumbangan yang diberikan untuk kepentingan agama
semisal dalam pembangunan masjid dan pesantren maka hubungannya dengan
kyai semakin erat. Kyai tidak pernah berkampanye secara langsung untuk
mengkampanyekan salah satu kader, namun kedekatan kader politik dimata
kyai menjadi isu yang dituturkan dari mulut kemulut.
Bukan
budaya suap yang dimaksud dalam budaya politik ini, namun hubungan yang
erat yang terjalin begtu lama sehingga jasa-jasa kader politik berupa
sedekah, sumbangannya dalam mendukung kegiatan agama selalu
diperhitungkan di masyarakat. Selain itu sifatnya berbentuk personal
dari kekayaan pribadi, sasaran sedekah tidak dberikan kepada kyai secara
personal namun bersifat kelembagaan. Meski begitu, budaya masyarakat
pesantren sangat sensitif terhadap bentuk penyimpangan. Apabila terdapat
penyimpangan, konsekuensinya kader plotik akan kehilangan kepercayaan,
apalagi jika seorang kyai sudah mencapnya, memvonis ketidak layakan
seorang kader.
Peran
santri dalam menyebarkan berita disekitar pesantren kepada masyarakat
memiliki peran penting. Banyak politikus menyekolahkan anaknya di
pesantren demi mendapatkan simpati dan pengaruh diligkungan pesantern
bersangkutan. Jauh hari sebelum terjun kedunia politik, orang mempunyai
pandangan strategis dari kebijakan lokal. Menempatkan anak kedalam
pesantren bertujuan untuk memperluas pengaruh. Fenomena seperti itu
banyak dipraktikan dan ternyata sudah lama menjadi budaya yang
tersembunyi yang masih kurang mendapat kritikan.
Budaya
perkawinan berbau politis demi mendapatkan secercah (cipratan) kharisma
dari kyai juga sudah tidak asing. Hubungan keluarga dengan kyai diburu
untuk memperoleh kepopuleran dalam dunia politik. Budaya “bebesanan”
kalau dalam istilah jawa. Fenomena ini sudah menjamur sejak lama, bisa
dilihat dalam sejarah para kyai yang memiliki kharisma dimasyrakat,
mereka mengawinkan putra putrinya dengan orang-orang yang memiliki
pengaruh yang cukup besar. Perkawianan antar anak kyai, bertujuan
menjaga garis keturunan mereka untuk tetap berketurunan ulama. Merupakan
salah satu bentuk budaya pernikahan yang dibarengi unsur politis, demi
melanggengkan status quo.
Kembali
pada budaya politik kyai, pada dasarnya budaya politik Islam
menempatkan seorang ulama (kyai) dalam posisi strategis, dalam
menentukan aturan. Penguasa berperan sebagai penegak aturan untuk
mempersatukan ummah. Karakteristik politik ini memang sudah merupakan
bawaan semenjak awal mula kemunculan Islam. Hukum Islam yang merupakan
hukum syariah adalah hukum suci yang digencarkan ulama atau pemimpin
keagamaan Islam.
Identitas
komunitas keagamaan dimantapkan (terutama menurut hukum suci-syariah)
yang dilancarkan oleh pemimpin keagamaan, yakni kaum ulama dan
diselenggarakan oleh para penguasa. Didalam kelompok ini berkembang
suatu hubungan yang sangat unik didalam kalangan ulama merupakan
golongan yang pasif secara politik atau patuh kepada para penguasa
kendati dalam menjalankan fungsi legal agamanya para ulama ini masih
tetap merupakan golongan yang otonom. (lihat J. Schacht “ Law and
Justice” dalam Holt dkk.,Cambridge History of Islam)
Jadi
identitas kebudayaan Islam dalam prakteknya ditegakan oleh kerangka
hukum dan dibawa oleh para ulama, dan dilindungi oleh para penguasa yang
bercita-cita ingin mempersatukan kembali kaum ummah. Dalam kerangka ini
dalam sejarah Islam kita melihat suatu peralihan yang tetap antara
kenaikan pergerakan politik keagamaan yang mengarah pada transformasi
rezim politik yang menyeluruh melalui cara-cara haram seperti pembunuhan
dan pemberontakan, dan dengan pendirian dunia spiritual yang kuat
dengan kepasifan hukum, yang membantu tegaknya karakter despotis suatu
rezim. (Eisenstadt Revolusi dan Transformasi Masyarakat)
dari
kutipan diatas saya hanya ingin menggambarkanm, bahwasannya budaya
politik Islam secara universal bisa dibayangkan begitu adanya. Lalu
bagaimana pengaruhnya terhdap budaya politik di Indonesia? Bagi
masyarakat jawa terutama yang yang akrab dalam dunia pesantren dimana
kyainya masih sangat berpengaruh, hal seperti diatas masih dapat
diarasakan. Artinya tidak secara mutlak kyai berpengaruh dalam pembuatan
aturan-aturan, namun ada kebijakan tertentu yang merupaka legitimasi
dari kebijakan kyai.
Kyai
selalu diminta pendapatnya dalam pengambilan keputusan penguasa. Semisal
dalam pemerintahan desa peraturan atau etika lokal sangat ketat menurut
ajaran Islam. Contohnya peraturan pelarangan pendirian tempat hiburan
yang dapat merusak akidah uamat, contohnya hiburan malam seperti bar,
diskotik, tempat perjudian, minuman keras, tempat pelacuran dan
lain-lain. Bahkan ada beberapa kearifan lokal yang masih dipertahankan
yang sumbernya berasal dari kyai. Ditempat tertentu penguasa bukanlah
satu-satunya orang yang mutlak yang dapat mengesahkan sesuatu. Contohnya
pada saat seorang warga berniat mengadakan pesta dengan hiburan pentas
dangdut atau layar tancap (sejenis hiburan bioskop). Maka kyailah yang
mempertimbangkan acara tersebut diizinkan atau tidak, posisi penguasa
atau lurah biasanya hanya formalitas.
Apa
yang dilakukan penguasa dalam upaya mempertahankan status quonya
memiliki teori yang sangat relefan dengan fenomena diatas. Usaha untuk
melatenkan kekuasaan terdapat dalam salah satu teori yang dikemukakan
Talcott Parsons. Talcott Parsons menyebutkan perluya pemeliharaan pola
atau latency, yang artinya sistem harus mampu melengkapi,
memelihara, dan memperbaiki, baik motivasi individual maupun pola
cultural yang menciptakan dan mendorong motivasi.2
Hal
tersebut telah banyak dilakukan para kyai dalam mempertahankan stastus
quo, dan tak heran teori tersebut sejalan dengan apa yang dijalankan
didalam budaya kyai.
Dari
beberapa fenomena politik yang dibahas dalam tulisan ini memang penulis
sengaja mencoba memaparkan secara fenomenalogis garis-garis terdepan
yang dapat ditemukannya ruh sosiologi politik. Masih banyak lagi budaya
politik dalam masyrakat pesantren diantaranya adalah budaya dakwah,
poligami, dan pengajian. Mengapa ketiga hal itu saya definisikan kedalam
budaya politik. Tentu ada alasan, dimana ditempat tertentu ketiga hal
tersebut menjadi alat bagi kyai untuk memperluas pengaruh. Salah satunya
budaya poligami dikalangan kyai, kemugkinan ada unsur politik
mempoligami beberapa anak kyai lain agar terjalin kekeluargaan
dimana-mana, dan otomatis pengaruhnya semakin luas.
Kadang
pengajian dan dakwah dijadikan senjata politis kyai untuk mempengaruhi
masyartakat. Kasus yang pernah terjadi ketika seorang kyai mempengaruhi
masyarakat untuk melakukan perlawanan terhadap rezim otoriter Soeharto
dari adanya kasus Tanjung Priuk. Dakwahnya memiliki sepirit hinnga
membakar masyarakat untuk melengserkan Soeharto atas pelanggaran HAM
yang terjadi di Tanjung Priuk.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar