Oleh: Saripuddin *
Max Weber dengan baik mengaitkan antara Etika Protestan dan Semangat Kapitalis (Die Protestan Ethik Under Giest Des Kapitalis).
Tesisnya tentang etika protestan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi
kapitalis. Ini sangat kontras dengan anggapan bahwa agama tidak dapat
menggerakkan semangat kapitalisme. Studi Weber tentang bagaimana kaitan
antara doktrin-doktrin agama yang bersifat puritan dengan fakta-fakta
sosial terutama dalam perkembangan industri modern telah melahirkan
corak dan ragam nilai, dimana nilai itu menjadi tolak ukur bagi perilaku
individu.
Karya Weber tentang The Protestan Ethic and Spirit of Capitalism menunjukkan
dengan baik keterkaitan doktrin agama dengan semangat kapitalisme.
Etika protestan tumbuh subur di Eropa yang dikembangkan seorang yang
bernama Calvin, saat itu muncul ajaran yang menyatakan seorang pada
intinya sudah ditakdirkan untuk masuk surga atau neraka, untuk
mengetahui apakah ia masuk surga atau neraka dapat diukur melalui
keberhasilan kerjanya di dunia. Jika seseorang berhasil dalam kerjanya
(sukses) maka hampir dapat dipastikan bahwa ia ditakdirkan menjadi
penghuni surga, namun jika sebaliknya kalau di dunia ini selalu
mengalami kegagalan maka dapat diperkirakan seorang itu ditakdirkan
untuk masuk neraka.
Doktrin
Protestan yang kemudian melahirkan karya Weber tersebut telah membawa
implikasi serius bagi tumbuhnya suatu etos baru dalam komunitas
Protestan, etos itu berkaitan langsung dengan semangat untuk bekerja
keras guna merebut kehidupan dunia dengan sukses. Ukuran sukses dunia –
juga merupakan ukuran bagi sukses di akhirat. Sehingga hal ini mendorong
suatu semangat kerja yang tinggi di kalangan pengikut Calvinis. Ukuran
sukses dan ukuran gagal bagi individu akan dilihat dengan ukuran yang
tampak nyata dalam aktivitas sosial ekonominya. Kegagalan dalam
memperoleh kehidupan dunia – akan menjadi ancaman bagi kehidupan
akhirat, artinya sukses hidup didunia akan membawa pada masa depan yang
baik di akhirat dengan “jaminan” masuk surga, sebaliknya kegagalan yang
tentu berhimpitan dengan kemiskinan dan keterbelakangan akan menjadi
“jaminan” pula bagi individu itu masuk neraka.
Upaya
untuk merebut kehidupan yang indah di dunia dengan “mengumpulkan” harta
benda yang banyak (kekayaan) material, tidak hanya menjamin kebahagiaan
dunia, tetapi juga sebagai media dalam mengatasi kecemasan. Etika
Protestan dimaknai oleh Weber dengan kerja yang luwes, bersemangat,
sungguh-sungguh, dan rela melepas imbalan materialnya. Dalam
perkembangannya etika Protestan menjadi faktor utama bagi munculnya
kapitalisme di Eropa dan ajaran Calvinisme ini menebar ke Amerika
Serikat dan berpengaruh sangat kuat disana.
Weber
mendefinisikan semangat kapitalisme sebagai bentuk kebiasaan yang
sangat mendukung pengejaran rasionalitas terhadap keuntungan ekonomi.
Semangat seperti itu telah menjadi kodrat manusia-manusia rasional,
artinya pengejaran bagi kepentingan-kepentingan pribadi diutamakan
daripada memikirkan kepentingan dan kebutuhan kolektif seperti yang
dikehendaki oleh Kar Marx. Islam pun sebenarnya berbicara tentang kaitan
antara makna-makna doktrin dengan orientasi hidup yang bersifat
rasional. Dalam salah satu ayat disebutkan bahwa setelah menyelesaikan
ibadah shalat, diperintahkan untuk bertebaran di muka bumi ini dalam
rangka mencari karunia Allah SWT. Namun dalam Islam ada mekanisme
penyeimbangan yang digunakan untuk membatasi kepemilikan pribadi dengan
kewajiban membayar zakat, infaq dan shadaqah.
Menurut Max Weber
bahwa suatu cara hidup yang teradaptasi dengan baik memiliki ciri-ciri
khusus kapitalisme yang dapat mendominasi yang lainnya merupakan
kenyataan yang real ketika masa-masa awal revolusi industri, ketika
Weber hidup, kenyataan-kenyataan itu mejadi sesuatu yang benar-benar
nyata dipraktekkan oleh manusia. Hidup harus dimulai di suatu tempat dan
bukan dari individu yang terisolasi semata melainkan sebagai suatu cara
hidup lazim bagi keseluruhan kelompok manusia.
Kita
perlu mengkritik mengenai teorinya Weber tentang etika protestan dan
semangat kapitalis ini. Dalam penelusuran sejarah, ternyata setelah
Weber mempublikasikan tulisannya mengenai etika protestan justru keadaan
ekonomi masyarakat protestan semakin menurun dan disisi lain mayoritas
katolik justru sedang bangkit. Ini adalah bola api yang bisa berbalik
membakar teorinya Weber sendiri, karna etika protestan dan semangat
kapitalis yang menjadi teorinya tidak dapat dijadikan ramalan masa
depan.
Selain
membicarakan tentang kaitan antara Protestan dan Kapitalisme, Weber
juga membicarakan tentang agama Tiongkok yakni Konfusionisme dan
Taoisme, perhatian Weber pada agama ini tampaknya menunjukkan besarnya
perhatian Weber atas kenyataan-kenyataan sosial dalam kehidupan manusia.
Dalam tulisan-tulisannya yang lain, Weber juga sempat membicarakan
masalah-masalah Islam. Hadirnya tulisan tentang Konfusionisme dan
Taoisme dalam karya Weber ini dapat dipandang sebagai perbandingan
antara makna agama di Barat dan di Timur. Ia banyak menganalisa tentang
masyarakat agama, tentu saja dengan analisa yang rasional dan handal
serta sama sekali tidak ada maksud untuk mendiskriminasikan agama
tertentu. Agama Tiongkok; Konfusianisme dan Taonisme merupakan karya
terbesar kedua dari Weber dalam sosiologi tentang agama.
Weber
memusatkan perhatiannya pada unsur-unsur dari masyarakat Tiongkok yang
mempunyai perbedaan jauh dengan budaya yang ada di bagian barat bumi
(Eropa) yang dikontraskan dengan Puritanisme. Weber berusaha mencari
jawaban “mengapa kapitalisme tidak berkembang di Tiongkok?” dalam rangka
memperoleh jawaban atas pertanyaan sederhana diatas, Webar melakukan
studi pustaka atas eksistensi masyarakat tiongkok. Bagaiman eksistensi
itu dipahami Weber dalam rangka menuntaskan apa yang menjadi kegelisahan
empiriknya, maka yang dilakukana adalah memahami sejarah kehidupannya,
Dalam
berbagai dokumen yang diteliti oleh Weber, bahwa masyarakat Tiongkok
memiliki akar yang kuat dengan kehidupan nenek-moyang mereka sejak tahun
200 SM,
Tiongkok
pada saat itu merupakan tempat tinggal para pemimpin kekaisaran yang
membentuk benteng-benteng di kota-kota Tiongkok, disitu juga merupakan
pusat perdagangan, namun sayangnya mereka tidak mendapatkan otonomi
politik, ditambah warganya yang tidak mempunyai hak-hak khusus, hal ini
disebabkan oleh kekuatan jalinan-jalinan kekerabatan yang muncul akibat
keyakinan keagamaan terhadap roh-roh leluhur. Hal lainnya adalah
gilda-gilda yang bersaing merebutkan perkenan kaisar. Sebagai imbasnya
warga kota-kota Tiongkok tidak pernah menjadi suatu kelas setatus
terpisah. Namun jika kita cermati dinegara beragamakan Taoisme dan
Konfucuisme kini mampu berkembang dan banyak kapitalis dimana-mana
mungkin hal itu sudah tidak relevan lagi dengan fakta sosial saat ini.
Pada
bagian awal buku ini weber menuliskan tentang politik dan kekuasaan,
ada berbagai hal yang menarik untuk diulas bagi banyak teoritik sosial.
Tentang Negara Weber mendifinisikan negara sebagai sebuah lembaga yang
memiliki monopoli dalam penggunaan kekuatan fisik secara sah, definisi
ini menjadi sangat berharga karna sumbangsihnya dalam studi tentang ilmu
politik barat modern. Pada bagian satu buku ini diterangkan tentang
adanya tiga justifikasi batiniah yang menjadi legitimasi dasar bagi
dominasi. Legitimasi dasar bagi dominasi ini yang pertama ialah otoritas
atas masa lalu abadi atau sering disebut sebagai dominasi tradisional,
karma disini ada otoritas atas adat istiadat yang dikeramatkan. Otoritas
seperti ini dipakai patriach dan penguasa patrimonial dimasa lalu,
salah satunya adalah adat yang mengangkat seorang pemimpin atas dasar
darah keturunan atau dari suku tertentu. Yang kedua merupakan otoritas
kharismatik diantaranya; ketaatan personal absolut dan keyakinan
personal pada wahyu, heroisme, atau bisa juga kualitas lain yang
istimewa dari kepemimpinan individual. Sebagai contohnya seperti yang
diperaktikan seorang Nabi, pangliama perang terpilih, atau
pemimpin-pemimpin politik yang memang mempunyai sebuah kharisma. Yang
ketiga merupakan dominasi karma legalitas, dominasi ini didasari oleh
sebuah hukum yang memang sudah terbentuk. Legalitas ini timbul karena
keyakinan pada keabsahan statula legal dan komnpetensi fungsional yang
beralas pranata yang dibuat secara rasional. Contohnya pemimpin yang
dipilih secara demokratis melalui pemilu yang berdasarkan undang-undang
yang berlaku seperti halnya Negara kita dan Negara-negara lain yang
demokratis.
Ada
yang perlu dikritik dalam karya Weber mengenai perkembangan
rasionalisasi hukum, menurutnya perkembangan hukum diawali pewahyuan ala
kharismatik, tahapan ini merupakan penciptaan hukum dari ketiadaan
hukum sama sekali. Tahapan ini ditandai dengan mode bersifat kharimatik.
Tahapan yang kedua menurut Weber adalah penciptaan hukum secara
empiris, pengadaan hukum empiris ini tercipta melalui proses teknis yang
merupakann kreatifitas manusia itu sendiri, tahapan kedua ini ditandai
dengan metodenya yang bersifat empirical. Selanjutnya adalah tahapan
imposition atau pembebanan hukum oleh kekuatan-kekuatan sekuler, dan
yang terakhir merupakan tahapan profesional, artinya hukum yang dibuat
oleh orang-orang yang benar-benar mempunyai kemampuan didalamnya karna
mereka mendapatkan pendidikian formal dengan metode ilmiah dan logis
formal. Kesimpulanya Weber melihat masyarakat selalu akan berkembang
dari kharismatik tradisional menuju tahapan-tahapan yang sudah
ditentukan diatas. Tapi jika kita melihat berbagai perkembangan hukum,
proses itu tak berjalan linier menaiki tangga secara berurutan, justru
perubahannya bisa saja terjadi secara gradual atau acak. Hal ini bisa
ditemukan pada kondisi masyarakat yang mengalami revolusi.
Ditengah-tengah dunia modern kita masih menemukan fakta banyaknya
masyarakat tradisional yang begitu kesulitan dalam menyesuaikan hukum
yang mengikatnya oleh hukum formal yang diciptakan negara, ini
mengakibatkan kementalan antara kualitas hukum dan kualitas masyarakat,
alasannya adanya masyarakat yang tak bisa mencerna hukum sehingga
terjadi pemboikotan secara tidak langsung.
Ada
kasus yang lebih menarik dikaitkan dengan perkembangan hukum manusia
saat ini, contoh beberapa negara yang menggunakan syariat Islam, tentu
saja bisa merupakan penolakan mentah-mentah atas teorinya Weber. Apa
yang disebut sebagai hukum tuhan yang berpedoman pada wahyu dari
teks-teks suatu kitab suci masih berlaku sepanjang zaman yang dijadikan
hukum manusia saat ini. Tentu tidak serta merta dapat dikatakan
ketinggalan, karna berada pada tahap satu dari perkembangan manusia yang
diungkapkan Weber sebelunya, justru kharismatik tradisional mapu
melampaui hukum manusia profesiaonal sekalipun.
Buku
ini bisa di ibaratkan pohon yang memiliki beberapa tandan buah,
beberapa tandan dari buku yang berkafer biru ini diantaranya mengulas
tentang agama, kekuasaan, ilmu pengetahuan dan politik. Pada bagian yang
kedua dalam buku ini merupakan esai tentang kekuasaan, didalamnya ada
banyak sekali pembahasan diantaranya mengenai struktur kekuasaan,
mengenai kelas social, status dan partai, juga birokrasi.
Weber
selain dari salah satu pendiri ilmu sosiologi juga merupakan pendiri
administrasi Negara modern, dalam karyanya weber banyak menulis tentang
ekonomi dan pemerintahan. Kaitannya dengan birokrasi weber mengutarakan
banyak hal termasuk didalamnya tentang karakteristik sebuah birokrasi.
Ada beberapa karakteristik sebuah birokrasi yang merupakan kepiawaian
modern yang berfungsi secara spesifik diantaranya : adanya prinsip area
yurisdiksional yang sudah ditetapkan dan resmi, adanya prinsip-prinsip
hirarki jabatan dan tingkat-tingkat kewenangan, manajemen yang yang
didasarkan pada dokumen-dokumen tertulis juga adanya menejemen yang
benar-benar terspesialisai. Pada bagian yang tak kalah pentingnya, Weber
mengulas bagaimana pemangkuan jabatan itu merupakan sebuah panggilan.
Hingga pada sebuah kesimpulan Weber melihat birokrasi sebagai contoh
klasik rasionalisasi.
Cukup banyak yang bisa ditemukan dari ide-ide cemerlang Max Weber
mengenai birokrasi, sehingga saya pikir ini adalah PR bagi pembaca
untuk dapat menghatamkan tulisan dalam buku yang penuh makna ini. Bagian
ini memang merupakan acuan mengapa Weber dikatakan sebagai salah satu
pendiri adanya administrasi modern.
Buku ini merupakan jendela melihat masa lalu untuk memahami kerangka teoritik Weber. Ia tak kalahnya dengan hantu tua Karl Marx
bahkan ia menjadi salah seorang yang membalikan perspektif teoritik
Marx. Diantaranya ketika Weber mengatakan pada suatu kesimpulan bahwa
faktor material bukanlah satu-satunya faktor yang dapat mempengaruhi
gagasan, namun sebaliknya gagasan itu sendiri mempengaruhi struktur
material. Weber juga mencoba melengkapi kekurangan dari marx terbukti
didalam karyanya mengenai stratifikasi dimana stratifikasi sosial
diperluas hingga mencakup stratifikasi berdasarkan prestis, status atau
kekuasaan. Pada dasarnya karya Weber lebih menekankan tentang proses
rasionalisasi yang selalu mendasari semua teoritiknya.
Isi
buku yang diterbitkan oleh pustaka pelajar ini mempunayai bobot nutrisi
kaya teori, namun tingkat kesulitan dalam memahami bagaimana inti
permasalahannya menjadi kendala utama dalam menguasai teori dalam buku
ini. Masalah seperti ini memang sering kita temui ketika membaca
karya-kaya terjemahan asing. Banyak para tokoh yang menjelaskan teori
weber ini dalam bahasa yang sangat sderhana sehingga mudah untuk
dipahami, Weber merupakan penulis yang paling buruk dibandingkan dengan
tokoh sosiologi lain dalam menjelaskan ide gagasannya, makanya banyak
kalangan begitu kesulitan menangkap pemikiran Weber sehingga lebih
memilih buku yang sudah dianalisa oleh tokoh lain sesudah Weber. Namun
dibalik itu semua Weber mempunyai ide yang cemerlang, ia mempunyai
pemikiran yang hebat yang bisa ditemukan dalam buku ini. Kerumitan dalam
memahami buku sosiologi Max Weber ini dapat diatasi dengan kesungguhan mempelajarinya.
Buku
ini seperti sebuah sumur yang dalam, dengan air sebagai gambaran dari
teorinya yang tak pernah kering sepanjang masa. Gagasan Max Weber
seakan tak pernah surut menghadapi musim silih berganti,
ditengah-tengah bayak teoritis baru bermunculan justru ia dapat berjasa
dalam perkembangan sosiologi sepanjang zaman.
Menurut
hemat penulis, buku ini sangat penting dibaca oleh Dosen, Mahasiswa,
pemerhati masalah-masalah agama, politik, birokrasi dan siapa saja yang
memiliki perhatian pada dunia ilmu. Buku ini tidak hanya menjadi “wajib’
dibaca oleh ilmuan-ilmuan sosial, melainkan mereka yang concern pada masalah-masalah agama dan politik.
Saripuddin
adalah Mahasiswa Program Studi Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial
Humaniora, Universitas Islam Negeri (UIN) Sunanan Kalijaga, Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar