WELCOME

ROH KE KAUM BEAK KU

Selasa, 24 April 2012

powered by Sejarah: Barus dan Sejarah Peradaban Islam yang Terlupakan


|

Mungkin, sebagian di antara kita masih ada yang merasa asing dengan nama “Barus”-sebuah kota tertua di Indonesia yang terletak di pinggir pantai Barat Sumatera. Tapi, tahukah kita bahwa Barus merupakan perkampungan Arab Muslim pertama di Indonesia? Dan sadarkah kita bahwa karena ketidaktahuan kita, kita melupakannya?


Sekilas tentang Barus
Sebelum menjadi sebuah kecamatan di Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, Barus merupakan kota Emporium dan pusat peradaban pada abad 1 – 17 M, Barus disebut juga dengan nama lain, yaitu Fansur (1). Kampung kecil ini merupakan sebuah kampung kuno yang berada di antara kota Singkil dan Sibolga, sekitar 414 kilometer selatan Medan. Pada zaman Sriwijaya, kota Barus masuk dalam wilayahnya. Namun, saat Sriwijaya mengalami kemunduran dan digantikan oleh kerajaan Aceh Darussalam, Barus pun masuk dalam wilayah Kerajaan Aceh.

Lalu kenapa Barus di sebut sebagai kota tertua? Karena mengingat dari seluruh kota di Nusantara, hanya Barus yang namanya sudah disebut-sebut sejak awal masehi oleh literatur-literatur Arab, India, Tamil, Yunani, Syria, Armenia, China dan sebagainya.


Sebuah peta kuno yang dibuat oleh Claudius Ptolomeus, salah seorang Gubernur Kerajaan Yunani yang berpusat di Alexandria, Mesir, pada abad ke-2 Masehi, juga telah menyebutkan bahwa di pesisir barat Sumatera terdapat sebuah bandar niaga bernama Barousai (Barus) yang di kenal menghasilkan wewangian dari kapur barus. Bahkan, dikisahkan pula bahwa kapur barus yang diolah dari kayu kamfer dari kota itu telah dibawa ke Mesir untuk dipergunakan bagi pembalseman mayat pada zaman kekuasaan Fir’aun sejak Ramses II atau sekitar 5.000 tahun sebelum Masehi (2).

Berdasarkan buku Nuchbatuddar karya Addimasqi, Barus juga dikenal sebagai daerah awal masuknya agama Islam di Nusantara sekitar abad ke-7 Masehi. Sebuah makam kuno di kompleks pemakaman Mahligai, Barus, di batu nisannya tertulis bahwa Syaikh Rukunuddin wafat tahun 672 Masehi dan terdapat pula makam Syaikh Ushuluddin yang panjangnya kira-kira 7 meter. Ini memperkuat dugaan bahwa komunitas Muslim di Barus sudah ada pada era itu. (3)

Sebuah tim Arkeolog yang berasal dari Ecole Francaise D’extreme-Orient (EFEO) Perancis yang berkerjasama dengan peneliti dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (PPAN) di Lobu Tua-Barus, telah menemukan bahwa pada sekitar abad ke 9-12 M, Barus telah menjadi sebuah perkampungan multi-etnis dari berbagai suku bangsa seperti Arab, Aceh, India, China, Tamil, Jawa, Batak, Minangkabau, Bugis, Bengkulu dan sebagainya.

Tim tersebut menemukan banyak benda-benda berkualitas tinggi yang usianya sudah ratusan tahun, dan ini menandakan dahulu kala kehidupan di Barus itu sangatlah makmur. (4) hal ini dapat dibuktikan dari banyaknya pedagang Islam yang terdiri dari orang Arab, Aceh dan sebagainya, hidup dengan berkecukupan di kota Barus dan sekitarnya. (5)

Kapan Islam masuk ke Barus?
Masuknya cahaya Islam ke kota Barus juga tak terlepas dari peran Banda Aceh yang rute pelayaran perniagaannya telah dikenal sejak zaman dahulu oleh para pedagang Arab, India dan China.

Adanya jalur perdagangan utama dari Nusantara – terutama Sumatera dan Jawa – dengan Cina diakui oleh sejarawan G.R Tibbetts. Tibbetts meneliti hubungan perniagaan yang terjadi antara para pedagang dan jazirah Arab dengan para pedagang dari wilayah Asia Tenggara pada zaman pra Islam. Tibbetts menemukan bukti-bukti adanya kontak dagang antara negeri Arab dengan nusantara saat itu. “Keadaan ini terjadi karena kepulauan Nusantara telah menjadi tempat persinggahan kapal-kapal pedagang Arab yang berlayar ke negeri Cina sejak abad kelima Masehi”. (6)

Sebuah dokumen kuno asal Tiongkok juga menyebutkan bahwa menjelang seperempat tahun 700 M atau sekitar tahun 625 M – hanya berbeda 15 tahun setelah Rasulullah saw. menerima wahyu pertama atau sembilan setengah tahun setelah Rasulullah berdakwah secara terang-terangan kepada bangsa Arab – di sebuah pesisir pantai Sumatera sudah ditemukan sebuah perkampungan Arab Muslim yang masih berada dalam kekuasaan wilayah Kerajaan Buddha Sriwijaya.

Disebutkan pula bahwa di perkampungan-perkampungan ini, orang-orang Arab bermukim dan telah melakukan asimilasi dengan penduduk pribumi dengan jalan menikahi perempuan-perempuan lokal secara damai. Mereka sudah beranak-pinak di sana. Dari perkampungan-perkampungan ini mulai didirikan tempat-tempat pengajian al-Qur’an dan pengajaran tentang Islam sebagai cikal bakal madrasah dan pesantren, umumnya juga merupakan tempat beribadah (masjid).

Selain itu, mereka juga memiliki kedudukan yang baik dan mempunyai pengaruh cukup besar di dalam masyarakat maupun pemerintah (Kerajaan Buddha Sriwijaya). Bahkan, kemudian ada juga yang ikut berkuasa di sejumlah bandar. Semakin lama, semakin banyak pula penduduk setempat yang memeluk Islam. Bahkan, ada pula raja, adipati, atau penguasa setempat yang akhirnya masuk Islam. Tentunya dengan jalan damai. (7)

Bahkan, Buzurg bin Shahriyar al-Ramhurmuzi pada tahun 1000 M menulis sebuah kitab yang menggambarkan betapa di zaman keemasan Kerajaan Sriwijaya sudah berdiri beberapa perkampungan Muslim. Perkampungan itu berdiri di dalam wilayah kekuasaan Sriwijaya. Hanya karena hubungan yang teramat baik dengan dunia Islam, Sriwijaya memperbolehkan orang-orang Islam yang sudah ada di wilayahnya sejak lama hidup dalam damai dan memiliki perkampungannya sendiri, dimana di dalamnya berlaku syari’at Islam. (8)

Temuan lain mengenai Barus juga diperkuat oleh Prof. Dr. HAMKA, yang menyebutkan bahwa, seorang pencatat sejarah Tiongkok yang mengembara pada tahun 674 M telah menemukan satu kelompok bangsa Arab yang membuat kampung dan berdiam di pesisir Barat Sumatera. Ini sebabnya, Hamka menulis bahwa penemuan tersebut telah mengubah pandangan orang tentang sejarah masuknya agama Islam di Nusantara. Hamka juga menambahkan bahwa temuan ini telah diyakini kebenarannya oleh para pencatat sejarah dunia Islam di Princetown University di Amerika. (9)

Perjalanan dari Sumatera sampai ke Mekkah sendiri pada abad itu (dengan mempergunakan kapal laut dan transit lebih dulu di Tanjung Comorin, India) konon memakan waktu 2,5-hampir 3 tahun. Jika tahun 625 dikurangi 2,5 tahun, maka yang didapat adalah tahun 622 M lebih enam bulan. Untuk melengkapi semua syarat mendirikan sebuah perkampungan Islam, setidaknya memerlukan waktu 5-10 tahun. Jika ini yang terjadi, maka sesungguhnya para pedagang Arab yang mula-mula membawa Islam masuk ke Nusantara adalah orang-orang Arab Islam generasi pertama para sahabat Rasulullah saw., segenerasi dengan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu.

Dalam literatur kuno asal Tiongkok tersebut, orang-orang Arab disebut sebagai orang-orang Ta Shib, sedangkan Amirul Mukminin disebut sebagai Tan mi mo ni’. Disebutkan bahwa duta Tan mi mo ni’, utusan Khalifah, telah hadir di Nusantara pada tahun 651 M atau 31 H dan menceritakan bahwa mereka telah mendirikan Daulah Islamiyah dengan tiga kali berganti kepimimpinan. Maka dengan demikian, duta Muslim itu datang ke Nusantara di perkampungan Islam di pesisir pantai Sumatera pada saat kepimimpinan Khalifah Utsman bin Affan (644 -656 M). hanya berselang 20 tahun setelah Rasulullah saw. wafat (632 M). (10)

Dari bukti-bukti di atas, dapatlah dipastikan bahwa Islam telah masuk ke Nusantara pada masa Rasulullah masih hidup. Secara ringkas dapat dipaparkan sebagai berikut:

• Rasulullah menerima wahyu pertama di tahun 610 M, 2,5 tahun kemudian menerima wahyu kedua (kuartal pertama tahun 613 M).

• Lalu selama 3 tahun lamanya berdakwah secara diam-diam – periode Arqam bin Abil Arqam (sampai sekitar kuartal pertama tahun 616 M) dan setelah itu baru melakukan dakwah secara terbuka dari Mekkah ke seluruh Jazirah Arab.

• Menurut literatur kuno Tiongkok, sekitar tahun 625 M telah ada sebuah perkampungan Arab Islam di pesisir Sumatera (yang disebut Barus).

Jadi, hanya 9 tahun sejak Rasulullah saw. memproklamirkan dakwah Islam secara terbuka, di pesisir Sumatera sudah terdapat sebuah perkampungan Islam. (11)

Inilah, yang oleh banyak sejarawan dikenal dengan Teori Mekkah. Sehingga Teori Gujarat yang berasal dari Orientalis Snouck Hurgronje terbantah dengan sendirinya. Dan Barus akan tetap menjadi sejarah peradaban Islam yang tak akan terlupakan bagi siapa saja yang mengetahuinya. (Penulis, Sarah Larasati Mantovani)

Footnote:
(1) http://id.wikipedia.org/wiki/Barus,_Tapanuli_Tengah, data-data ada yang di ambil dari buku Rizki Ridyasmara, Gerilya Salib di Serambi Mekkah: Dari Zaman Portugis hingga Paska Tsunami, Pustaka al-Kautsar, 2006, Jakarta.
(2) Ibid, hlm. 4-5. Lihat Akhir Perjalanan Sejarah Barus, KOMPAS, 1 April 2005.
(3) Lihat Naskah Jawi yang dialihtuliskan dan dipetik dari kumpulan naskah Barus dan dijilidkan lalu disimpan di Bagian Naskah Museum Nasional Jakarta dengan no. ML 16. Dalam Katalogus van Ronkel naskah ini yang disebut Bat. Gen. 162, dikatakan berjudul “Asal Toeroenan Radja Barus”. Seksi Jawi pertama berjudul “Sarakatah Surat Catera Asal Keturunan Raja Dalam Negeri Barus”, lihat juga Sejarah Raja-Raja Barus, Ecole Franéaise d’Extréme-Orient, 1988 dan A Kingdom of Words: Language and Power in Sumatra, Oxford University Press, 1999.
(4) Ibid, hlm. 5.
(5) Ibid, hlm. 6. Lihat Sagimun M.D., Peninggalan Sejarah, Masa Perkembangan Agama-Agama di Indonesia, CV. Haji Masagung, cet. 1, 1998, hlm. 58.
(6) Ibid, hlm. 3. Lihat G.R Tibbetts, Pre Islamic Arabia and South East Asia, JMBRAS, 19 pt.3, 1956, hlm. 207. Penulis Malaysia – Dr. Ismail Hamid dalam Kesusastraan Indonesia Lama Bercorak Islam, terbitan Pustaka al-Husna, Jakarta, cet.1, 1989, hlm. 11 juga mengutip Tibbetts.
(7) Ibid, hlm. 3-4. Lihat Kitab Chiu Thang Shu, tanpa tahun.
(8) Ibid, hlm. 12. Lihat Buzurg bin Shahriyar al Ramhurmuzi, Aja’ib al Hind.
(9) Ibid, hlm. 4. Lihat HAMKA, Dari Perbendaharaan Lama, Pustaka Panjimas, cet. 3, Jakarta, 1996, hlm. 4-5.
(10) Ibid, hlm. 9.
(11) Ibid, hlm. 7. Lihat Joesoef Sou’yb, Sejarah Khulafaur Rasyidin, Bulan Bintang, cet. 1, 1979, hlm. 390-391.

Foto: Masyarakat Barus Tempo Dulu

sejarah singkil



Dalam beberapa almanak Pemerintah Hindia Belanda diterangkan bahwa Kota Singkil (Singkil pertama) telah dibangun pada tahun 1841. Dijelaskan bahwa pada saat itu daerah tersebut merupakan salah satu wilayah yang tergabung dalam Keresidenan Tapanuli. Data atau informasi yang disajikan tersebut kiranya perlu disikapi secara hati-hati, apakah Kota Singkil memang baru dibangun pertama kali pada tahun 1841 atau pada saat itu kota tersebut hanya melanjutkan program pembangunan yang telah ada sebelumnya. Akan tetapi yang jelas semenjak saat itu mulailah di Kota Singkil dibangun berbagai fasilitas pemerintahan, seperti rumah controleur (1843), Pendopo (1847), Kantor Keuangan (1850), Kantor Bea Cukai dan Pelabuhan (1850), dan sebuah Rumah Sakit Militer (1949). Selain itu, dibangun pula pemukiman penduduk dan pasar. Pada saat pemerintahan Belanda melakukan Sensus Sosial Ekonomi pada tahun 1852 diterangkan, bahwa semua infrastruktur yang telah dibangun sebelumnya masih dalam kondisi yang baik kecuali rumah controleur. Kemudian pada tahun 1857 dibangun pula sebuah penjara.

Setelah kota Singkil pertama hancur mulailah pemerintah Belanda mempersiapkan sebuah kota baru yang lokasinya agak menjorok ke darat dan persiapannya dimulai sejak tahun 1861 sampai tahun 1863. Kota tersebut mulai ditempati pada pertengahan tahun 1863 dan dikenal dengan kota Singkil kedua. Kota Singkil kedua tersebut terletak berseberangan dengan kota Singkil yang sekarang. Kota Singkil kedua sering juga disebut dengan Singkil Lama. Sedangkan kota Singkil yang sekarang disebut dengan Singkil Baru (Niew Singkil). Kota Singkil kedua tersebut terpaksa harus ditinggalkan karena terjadinya pendangkalan di muara sungai Singkil yang mengakibatkan jauhnya kapal-kapal untuk bongkar muat barang, terutama untuk kepentingan militer Belanda.
Kota Singkil sekarang terletak di tepi muara sungai Singkil dan pinggir pantai barat Aceh. Kota Singkil merupakan kota yang dipersiapkan Belanda sebagai pusat administrasi. Sebelum memindahkan Kota Singkil lama tersebut, pemerintah Belanda terlebih dahulu mengatur tata kota Singkil Baru dengan mendirikan kantor-kantor pemerintah, rumah controleur, tangsi Militer, rumah Beacukai, Dermaga, Mercusuar, Lapangan Bola Kaki, Gedung Sekolah, lokasi rumah penduduk, dan pengaturan jalan-jalan. Rumah-rumah orang Eropa sengaja dibangun tersendiri dan menghadap sebuah danau besar yang semula merupakan alur sungai Singkil. Bekas danau tersebut saat ini telah ditumbuhi berbagai tumbuhan rawa, seperti nipah dan eceng gondok yang mengakibatkan terjadinya pendangkalan di muara sungai Singkil.
Pemerintah Hindia Belanda juga membangun rumah Datuk Besar Singkil yang biasa disebut dengan Rumah Gadang dan sebuah mesjid besar. Selain itu, pemerintah Hindia Belanda juga membangun sebuah kantor pos serta kantor telegram yang dapat menghubungkan kota Singkil dengan berbagai kota lainnya di Indonesia. Sebagian bangunan peninggalan Belanda tersebut masih dapat dijumpai di kota Singkil seperti rumah Gadang, rumah controleur dan dermaga. Sebaliknya bekas-bekas rumah orang Eropa kebanyakan sudah diruntuhkan dan diganti dengan bangunan kantor pemerintah.
Wilayah Singkil yang terletak di pantai barat Sumatera, berdasarkan keputusan Pemerintah Hindia Belanda tanggal 10 Oktober 1908 No. 3 serta Stbl. No. 604 tahun 1908, sebagai berikut:
Di pantai Lautan Hindia (Indonesia) pada ketinggian puncak dari Blang Sulpa ke Lae Muntu, kemudian ke arah kanan dari ujung sungai dan terdapat jalan kecil dari pangkalan Cinendang yang membelah dari Sukananing dan pangkalan Puge. Dari pangkalan Puge sampai ketinggian puncak Dleng Pemberangan dan Deleng Belilingen, Deleng Cambaren, Deleng Pangulubalang, Deleng Pabaken Singkeruh ke Muara Sibalik. Selanjutnya menuju ke depan dari seberang Simpang Kiri ke Lae Bengkong dengan perbatasan sungai. Garis perbatasan utara Singkil dengan Alas dapat dilihat dari Lae Bengkong sampai pantai laut Itam.
Perbatasan sebelah barat sesuai dengan surat keputusan Gubernur Hindia Belanda pada tanggal 27 Januari 1930 No. 32/p.z, sebagai berikut: sebelah kiri dari Alur Putih atau arah timur menuju Gunung Manu dan ke arah selatan menuju Titi Orat. Dari Titi Orat ke arah Selatan menuju Titi Toro. Arah sebelah barat menuju Suak Mangkuto sampai ke ujung Lintang Utara sungai-sungai yang membelok dari arah barat kemudian ke batas berikutnya sampai pada tempat Mampelam dan terakhir ke arah kanan Barat Daya mengarah ke Ujung Pasir Galak. Sebelah selatan merupakan batas lautan Indonesia termasuk Pulau Banyak di sebelah barat daya Singkil serta lima pulau besar di Ujung Manuk-Manuk.
Sumber: Sudirman dalam “Sejarah Maritim Singkil”

FUNGSIONALISME STRUKTURAL TALCOTT PARSONS


FUNGSIONALISME STRUKTURAL TALCOTT PARSONS
Pembahasan teori fungsionalisme structural Parson diawali dengan empat skema penting mengenai fungsi untuk semua system tindakan, skema tersebut dikenal dengan sebutan skema AGIL. Sebelumnya kita harus tahu terlebih dahulu apa itu fungsi yang sedang dibicarakan disini, fungsi adalah kumpulan kegiatan yang ditujukan kearah pemenuhan kebutuhan system.
Menurut parson ada empat fungsi penting yang mutlak dibutuhkan bagi semua system social, meliputi adaptasi (A), pencapaian tujuan atau goal attainment (G), integrasi (I), dan Latensi (L). empat fungsi tersebut wajib dimiliki oleh semua system agar tetap bertahan (survive), penjelasannya sebagai berikut:
Adaptation : fungsi yang amat penting disini system harus dapat beradaptasi dengan cara menanggulangi situasi eksternal yang gawat, dan system harus bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan juga dapat menyesuaikan lingkungan untuk kebutuhannnya.
Goal attainment ; pencapainan tujuan sangat penting, dimana system harus bisa mendifinisikan dan mencapai tujuan utamanya.
Integrastion : artinya sebuah system harus mampu mengatur dan menjaga antar hubungan bagian-bagian yang menjadi komponennya, selain itu mengatur dan mengelola ketiga fungsi (AGL).
Latency :laten berarti system harus mampu berfungsi sebagai pemelihara pola, sebuah system harus memelihara dan memperbaiki motivasi pola-pola individu dan cultural .
Lalu bagaimanakah Parson menggunakan empat skema diatas, mari kita pelajari bersama. Pertama adaptasi dilaksanakan oleh organisme prilaku dengan cara melaksanakan fungsi adaptasi dengan cara menyesuaikan diri dan mengubah lingkungan eksternal. Sedangkan fungsi pencapaian tujuan atau Goal attainment difungsikan oleh system kepribadian dengan menetapkan tujuan system dan memolbilisai sumber daya untuk mencapainya. Fungsi integrasi di lakukan oleh system social, dan laten difungsikan system cultural. Bagaimana system cultural bekerja? Jawabannhya adalah dengan menyediakan actor seperangkat norma dan nilai yang memotivasi actor untuk bertindak.
Tingkat integrasi terjadi dengan dua cara, pertama : masing-masing tingkat yang p[aling bawah menyediakan kebutuhan kondisi maupun kekuatan yang dibutuhkan untuk tingkat atas. Sredangkan tingkat yang diatasnya berfungsi mengawasi dan mengendalikan tingkat yang ada dibawahnya.
Parson memberikan jawaban atas masalah yang ada pada fungsionalisme structural dengan menjelaskan beberapa asumsi sebagai berikut;
  1. system mempunyai property keteraturan dan bagian-bagian yang saling tergantung.
  2. system cenderung bergerak kea rah mempertahankan keteraturan diri atau keseimbangan.
  3. system bergerak statis, artinya ia akan bergerak pada proses perubahan yang teratur.
  4. sifat dasar bagian suatu system akan mempengaruhi begian-bagian lainnya.
  5. system akam memelihara batas-batas dengan lingkungannya.
  6. alokasi dan integrasi merupakan ddua hal penting yang dibutuhkan untuk memelihara keseimbangan system.
  7. system cenderung menuju kerah pemeliharaan keseimbangan diri yang meliputi pemeliharaan batas dan pemeliharaan hubungan antara bagian-baguan dengan keseluruhan sostem, mengendalikan lingkungan yang berbeda dan mengendalikan kecendrungan untuyk merubah system dari dalam.
System social
Pada pembahasannya parson mendefinisikan system social sebagai berikut:
sistem social terdiri dari sejumlah actor-aktor individual yang saling berinteraksi dalam situasi yang sekurang-kurangnya mempunyai aspek lingkungan atau fisik, actor-aktor yang mempunyai motivasi dalam arti mempunyai kecendrungan untuk mengoptimalkan kepuasan yang hubungannya dengan situasi mereka didefinisikan dan dimediasi dalam term system simbol bersama yang terstruktur secara cultural. (Parsons, 1951:5-6)
kunci masalah yang dibahas pada system social ini meliputi actor, interaksi, lingkungan, optimalisasi, kepuasan, dan cultural.
Hal yang paling penting pada system social yang dibahasnya Parsons mengajukan persyaratan fungsional dari system social diantaranya:
  1. system social harus terstuktur (tertata) sehingga dapat beroperasi dalam hubungan yang harmonis dengan sisten lain.
  2. untuk menjaga kelangsungan hidupnya system social harus mendapatkan dukungan dari system lain.
  3. system social harus mampu memenuhi kebutuhan aktornya dalam proporsi yang signifikan.
  4. system social harus mampu melahirkan partisipasi yang memadai dari para anggotanya.
  5. system social harus mampu mengendalikan prilaku yang berpotensi menggangu.
  6. bila konflik akan menuimbulkan kekacauan maka harus bisa dikendalikan.
  7. system social memerlukan bahasa.

BUDAYA “KHARISMA POLITIK KYAI”


Oleh ; Saripuddin
Sampai saat ini kyai masih mempunyai peranan penting dalam kehidupan berpolitik di Indonesia. Hal ini dapat dijumpai dibeberapa tempat yang kental dengan budaya jawa dan tradisi masyarakat pesantren. Bagaimana kyai mempunyai peranan penting dalam politik ? dalam tulisan ini akan membicarakan bagaimana budaya politik kyai.
Dibeberapa tempat yang pernah saya singgahi, ada banyak kemiripan dibeberapa daerah. Walaupun kyai tidak memiliki peran langsung dalam politik namun pengaruhnya sangat kuat dalam kehidupan berpolitik, khususnya dikalangan masyarakat agamis (Islam). Kyai berperan secara tidak langsung, kita dapat melihatnya disaat kader-kader politik berusaha mendapatkan pengaruh dimasyarakat. Beragam bentuk pendekatan dilakukan politikus demi memperoleh dukungan seorang kyai.
Dalam masyarakat pedesaan budaya sungkem seorang pemimpin (kepala desa atau lurah misalnya) kepada kyai masih banyak ditemukan. Budaya ini masih ditemui dibeberapa daerah di Indonesia. Pada saat-saat menjelang pemilihan kepala desa misalnya dukungan dari kyai sangat mempengaruhi pendapatan suara. Calon yang tidak memperoleh dukungan salah satu kyai yang ada, ia akan merasa kurang pantas. Terkadang hal ini menyebabkan terjadinya calon tunggal didalam sebuah pemilihan kepala desa, kadang calon yang tidak mendapat restu dari kyai memilih mundur sebelum diadakannya pemilihan.
Sudah menjadi jargon, yang menyatakan masyarakat yang ikut apa kata kyai/ulama maka ia akan selamat. Budaya ini belum tergerus oleh perkembangan zaman walaupun pergeseran-pergeseran nilai terus terjadi setiap masa. Kharisma kyai merupakan senjata paling mujarab untuk mendapatkan pengaruh dimasyarakat, dan masyarakatpun secara sadar menerima.
Ketaatan terhadap Tuhan, cita-cita umah, komunitas politik keagamaan rupanya dijadikan insvestasi untuk mendapatkan atribut-atribut transendental dan keselamatan (salvation).1
Dalam pemilihan kepala desa atau lurah dibeberapa tempat lingkungan pesantren, mereka akan mempertanyakan “dia santrinya pak yai bukan?”. Dan biasanya calon yang berasal dari santri seorang kyai terkemuka akan banyak dipilih oleh masyarakat. Hal ini disebabkjan kepercayaan terhadap kyai masih sangat tinggi, bukan saja kharisma seorang pemimpin secara personal namun sudah mengarahkan kepada penilaian latar belakang, hubungan mereka dengan tokoh kharismatik (kyai).
Politik yang membawa nama besar seorang kyai sudah menjadi budaya yang begitu kental. Meski sudah ada batasan bahwa kyai hanya bertugas mengurus umat dan tidak mau terlibat kedalam politik praksis. Keberadaan kharismanya masih dimanfaatkan untuk kepentingan politik.
Setelah menjadi pemimipin, budaya sungkem terhadap kyai tidak pernah ditingalkan, hal ini rupanya untuk melatenkan kekuasaan. Agar dukungan dari kyai tidak lepas, berapa upayapun dilakukan. Bahkan lawan politik tidak jarang yang mempengaruhi kyai untuk mengalihkan dukungannya. Untuk melangengkan kekuasaan maka seorang pemimimpin berusaha meminta nasihat yang akan dijalankan didalam kebijakan politiknya.
Kebijakan-kebijakan kepala desa misalkan, ia akan mengutamakan bebepa program yang berkaitan dengan keagamaan. Semakin banyak dukungan terhadap kepentingan kyai maka semakin strategis mendapatkan simpati masyarakat. Hal ini pernah terjadi dan saya saksikan, Singkat cerita pada pemilihan wakil daerah pemilu tahun lalu seorang anggota fraksi dari partai PKB memberikan sedekah buat pembangunan masjid didesa kami. Sepontan kharisma dimasyarakat sangat kuat sehingga mendominasi perolehan suaradi TPS kami. Selain itu Ada beberapa kesan yang tidak bisa dilupakan begitu saja, persepsi-persepsi yang menilai kader tersebut dermawan dan dekat dengan tokoh kharismatik memungkinkan menjadi alasan kemenangan yang mutlak.
Sedekah menjelang pemilu juga telah menjadi budaya politik, walau terkesan sebagai money politic hal ini tidak dapat dikatakan sebagai suatu pelanggaran dalam hukum adat. Semakin banyak sumbangan yang diberikan untuk kepentingan agama semisal dalam pembangunan masjid dan pesantren maka hubungannya dengan kyai semakin erat. Kyai tidak pernah berkampanye secara langsung untuk mengkampanyekan salah satu kader, namun kedekatan kader politik dimata kyai menjadi isu yang dituturkan dari mulut kemulut.
Bukan budaya suap yang dimaksud dalam budaya politik ini, namun hubungan yang erat yang terjalin begtu lama sehingga jasa-jasa kader politik berupa sedekah, sumbangannya dalam mendukung kegiatan agama selalu diperhitungkan di masyarakat. Selain itu sifatnya berbentuk personal dari kekayaan pribadi, sasaran sedekah tidak dberikan kepada kyai secara personal namun bersifat kelembagaan. Meski begitu, budaya masyarakat pesantren sangat sensitif terhadap bentuk penyimpangan. Apabila terdapat penyimpangan, konsekuensinya kader plotik akan kehilangan kepercayaan, apalagi jika seorang kyai sudah mencapnya, memvonis ketidak layakan seorang kader.
Peran santri dalam menyebarkan berita disekitar pesantren kepada masyarakat memiliki peran penting. Banyak politikus menyekolahkan anaknya di pesantren demi mendapatkan simpati dan pengaruh diligkungan pesantern bersangkutan. Jauh hari sebelum terjun kedunia politik, orang mempunyai pandangan strategis dari kebijakan lokal. Menempatkan anak kedalam pesantren bertujuan untuk memperluas pengaruh. Fenomena seperti itu banyak dipraktikan dan ternyata sudah lama menjadi budaya yang tersembunyi yang masih kurang mendapat kritikan.
Budaya perkawinan berbau politis demi mendapatkan secercah (cipratan) kharisma dari kyai juga sudah tidak asing. Hubungan keluarga dengan kyai diburu untuk memperoleh kepopuleran dalam dunia politik. Budaya “bebesanan” kalau dalam istilah jawa. Fenomena ini sudah menjamur sejak lama, bisa dilihat dalam sejarah para kyai yang memiliki kharisma dimasyrakat, mereka mengawinkan putra putrinya dengan orang-orang yang memiliki pengaruh yang cukup besar. Perkawianan antar anak kyai, bertujuan menjaga garis keturunan mereka untuk tetap berketurunan ulama. Merupakan salah satu bentuk budaya pernikahan yang dibarengi unsur politis, demi melanggengkan status quo.
Kembali pada budaya politik kyai, pada dasarnya budaya politik Islam menempatkan seorang ulama (kyai) dalam posisi strategis, dalam menentukan aturan. Penguasa berperan sebagai penegak aturan untuk mempersatukan ummah. Karakteristik politik ini memang sudah merupakan bawaan semenjak awal mula kemunculan Islam. Hukum Islam yang merupakan hukum syariah adalah hukum suci yang digencarkan ulama atau pemimpin keagamaan Islam.
Identitas komunitas keagamaan dimantapkan (terutama menurut hukum suci-syariah) yang dilancarkan oleh pemimpin keagamaan, yakni kaum ulama dan diselenggarakan oleh para penguasa. Didalam kelompok ini berkembang suatu hubungan yang sangat unik didalam kalangan ulama merupakan golongan yang pasif secara politik atau patuh kepada para penguasa kendati dalam menjalankan fungsi legal agamanya para ulama ini masih tetap merupakan golongan yang otonom. (lihat J. Schacht “ Law and Justice” dalam Holt dkk.,Cambridge History of Islam)
Jadi identitas kebudayaan Islam dalam prakteknya ditegakan oleh kerangka hukum dan dibawa oleh para ulama, dan dilindungi oleh para penguasa yang bercita-cita ingin mempersatukan kembali kaum ummah. Dalam kerangka ini dalam sejarah Islam kita melihat suatu peralihan yang tetap antara kenaikan pergerakan politik keagamaan yang mengarah pada transformasi rezim politik yang menyeluruh melalui cara-cara haram seperti pembunuhan dan pemberontakan, dan dengan pendirian dunia spiritual yang kuat dengan kepasifan hukum, yang membantu tegaknya karakter despotis suatu rezim. (Eisenstadt Revolusi dan Transformasi Masyarakat)
dari kutipan diatas saya hanya ingin menggambarkanm, bahwasannya budaya politik Islam secara universal bisa dibayangkan begitu adanya. Lalu bagaimana pengaruhnya terhdap budaya politik di Indonesia? Bagi masyarakat jawa terutama yang yang akrab dalam dunia pesantren dimana kyainya masih sangat berpengaruh, hal seperti diatas masih dapat diarasakan. Artinya tidak secara mutlak kyai berpengaruh dalam pembuatan aturan-aturan, namun ada kebijakan tertentu yang merupaka legitimasi dari kebijakan kyai.
Kyai selalu diminta pendapatnya dalam pengambilan keputusan penguasa. Semisal dalam pemerintahan desa peraturan atau etika lokal sangat ketat menurut ajaran Islam. Contohnya peraturan pelarangan pendirian tempat hiburan yang dapat merusak akidah uamat, contohnya hiburan malam seperti bar, diskotik, tempat perjudian, minuman keras, tempat pelacuran dan lain-lain. Bahkan ada beberapa kearifan lokal yang masih dipertahankan yang sumbernya berasal dari kyai. Ditempat tertentu penguasa bukanlah satu-satunya orang yang mutlak yang dapat mengesahkan sesuatu. Contohnya pada saat seorang warga berniat mengadakan pesta dengan hiburan pentas dangdut atau layar tancap (sejenis hiburan bioskop). Maka kyailah yang mempertimbangkan acara tersebut diizinkan atau tidak, posisi penguasa atau lurah biasanya hanya formalitas.
Apa yang dilakukan penguasa dalam upaya mempertahankan status quonya memiliki teori yang sangat relefan dengan fenomena diatas. Usaha untuk melatenkan kekuasaan terdapat dalam salah satu teori yang dikemukakan Talcott Parsons. Talcott Parsons menyebutkan perluya pemeliharaan pola atau latency, yang artinya sistem harus mampu melengkapi, memelihara, dan memperbaiki, baik motivasi individual maupun pola cultural yang menciptakan dan mendorong motivasi.2
Hal tersebut telah banyak dilakukan para kyai dalam mempertahankan stastus quo, dan tak heran teori tersebut sejalan dengan apa yang dijalankan didalam budaya kyai.
Dari beberapa fenomena politik yang dibahas dalam tulisan ini memang penulis sengaja mencoba memaparkan secara fenomenalogis garis-garis terdepan yang dapat ditemukannya ruh sosiologi politik. Masih banyak lagi budaya politik dalam masyrakat pesantren diantaranya adalah budaya dakwah, poligami, dan pengajian. Mengapa ketiga hal itu saya definisikan kedalam budaya politik. Tentu ada alasan, dimana ditempat tertentu ketiga hal tersebut menjadi alat bagi kyai untuk memperluas pengaruh. Salah satunya budaya poligami dikalangan kyai, kemugkinan ada unsur politik mempoligami beberapa anak kyai lain agar terjalin kekeluargaan dimana-mana, dan otomatis pengaruhnya semakin luas.
Kadang pengajian dan dakwah dijadikan senjata politis kyai untuk mempengaruhi masyartakat. Kasus yang pernah terjadi ketika seorang kyai mempengaruhi masyarakat untuk melakukan perlawanan terhadap rezim otoriter Soeharto dari adanya kasus Tanjung Priuk. Dakwahnya memiliki sepirit hinnga membakar masyarakat untuk melengserkan Soeharto atas pelanggaran HAM yang terjadi di Tanjung Priuk.

Pemikiran Emile Durkheim


  • secara politik Durkheim seorang liberal tapi secara intelektual ia tergolong konservatif
  • Sebagian besar karyanya banyak mengarah pada tertib sosial.
  • Menurutnya kekacauan sosial bukan keniscayaan dunia modern dan dapat dikurangi melalui reformasi sosial.
  • Dalam The Rule Of Sociological  (1895/1982) menurut durkheim sosioilogi mempelajari apa yang disebutnya sebagai fakta-fakta sosial.
  • Ia membayamhkan fakta sosial sebagai kekuatan (forces) dan struktur yang bersifat eksternal dan memaksa individu.
  • Studi tentang kekuatan dan struktur ini misalnya hukum yang melembaga dan keyakinan moral bersama dan pengaruhnya terhadap individu.
  • Dalam bukunya soicide (1897-1951) durkheim berpendapat bahwa bila ia dapat menghubungkan perilaku individu seperti bunuh diri seperti bunuh diri itu dengan sebab-sebab sosial (fakta sosial)
  • Durkheim berargumen bahwa sifat dan perubahan fakta sosiallah yang menyebabkan prbedaan rata-rata bunuh diri.
  • Contohnya perang, depresi ekonomi dapat menciptakan perasaan depresi kolektif dapat meningkatkan angka bunuh diri.
  • durkheim membedakan fakta sosial kedalam dua tipe yaitu fakta material dan fakta non material.
  • contoh fakta sosial material birokrasi,hukum.
  • Faktor non material misalkan kultur, institusi sosial.
  • Ia menyimpulkan bahwa masyarakat primitif dipersatukan oleh fakta sosial nonmaterial, khususnya oleh ikatan moralitas bersama atau kesadaran kolektif.
  • Dalam masyrakat modern ikatan dibangun melalui pembagian kerja yang ruwet, yang mengikat orang satu dengan lainnya dalam hubungan saling tergantung.
  • Pembagian kerja pada masyarakat modern menimbukan beberapa patologis.
  • Durkheim memusatkan perhatian pada fakta sosial nonmaterial yakni agama.
  • temuannya bahwa sumber agama adalah masyrakat itu sendiri.
  • Masyarakat yang menetukan bahwa sesuatu itu sakral dan lainnya bersifat profan. Khususnya totemisme.
  • Durkheim menyimpulkan masyrakat dan agama adalah sama.
  • Agama adalah cara masyarakat memperlihatkan dirinya sendiri dalam bentuk fakta sosial nonmaterial.
  • Durkheim seorang reformis yang mencari cara untuk mencari cara untuk meningkatkan fungsi masyarakat.

Memahami Pemikiran max weber


Oleh: Saripuddin *
Diawali oleh esai etika protestan dan semangat kapitalisme, Weber menyebutkan agama adalah salah satu alasan utama perbedaan antara budaya barat dan timur. Ia mengaitkan efek pemikiran agama dalam kegiatan ekonomi, hubungan antara stratifikasi sosial dan pemikiran agama serta pembedaan karakteristik budaya barat. Tujuannya untuk menemukan alasan mengapa budaya barat dan timur berkembang dengan jalur yang berbeda. Weber kemudian menjelaskan temuanya terhadap dampak pemikiran agama puritan (protestan) memiliki pengaruh besar dalam perkembangan sistem ekonomi di Eropa dan Amerika Serikat, namun tentu saja ini ditopang dengan faktor lain diantaranya adalah rasionalitas terhadap upaya ilmiah, menggabungkan pengamatan dengan matematika, ilmu tentang pembelajaran dan yurisprudensi, sistematisasi terhadap administrasi pemerintahan dan usaha ekonomi. Studi agama menurut Weber semata hanyalah meneliti satu emansipasi dari pengaruh magi, yaitu pembebasan dari pesona. Hal ini menjadi sebuah kesimpulan yang dianggapnya sebagai aspek pembeda yang sangat penting dari budaya yang ada di barat.
Max Weber dengan baik mengaitkan antara Etika Protestan dan Semangat Kapitalis (Die Protestan Ethik Under Giest Des Kapitalis). Tesisnya tentang etika protestan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi kapitalis. Ini sangat kontras dengan anggapan bahwa agama tidak dapat menggerakkan semangat kapitalisme. Studi Weber tentang bagaimana kaitan antara doktrin-doktrin agama yang bersifat puritan dengan fakta-fakta sosial terutama dalam perkembangan industri modern telah melahirkan corak dan ragam nilai, dimana nilai itu menjadi tolak ukur bagi perilaku individu.
Karya Weber tentang The Protestan Ethic and Spirit of Capitalism menunjukkan dengan baik keterkaitan doktrin agama dengan semangat kapitalisme. Etika protestan tumbuh subur di Eropa yang dikembangkan seorang yang bernama Calvin, saat itu muncul ajaran yang menyatakan seorang pada intinya sudah ditakdirkan untuk masuk surga atau neraka, untuk mengetahui apakah ia masuk surga atau neraka dapat diukur melalui keberhasilan kerjanya di dunia. Jika seseorang berhasil dalam kerjanya (sukses) maka hampir dapat dipastikan bahwa ia ditakdirkan menjadi penghuni surga, namun jika sebaliknya kalau di dunia ini selalu mengalami kegagalan maka dapat diperkirakan seorang itu ditakdirkan untuk masuk neraka.
Doktrin Protestan yang kemudian melahirkan karya Weber tersebut telah membawa implikasi serius bagi tumbuhnya suatu etos baru dalam komunitas Protestan, etos itu berkaitan langsung dengan semangat untuk bekerja keras guna merebut kehidupan dunia dengan sukses. Ukuran sukses dunia – juga merupakan ukuran bagi sukses di akhirat. Sehingga hal ini mendorong suatu semangat kerja yang tinggi di kalangan pengikut Calvinis. Ukuran sukses dan ukuran gagal bagi individu akan dilihat dengan ukuran yang tampak nyata dalam aktivitas sosial ekonominya. Kegagalan dalam memperoleh kehidupan dunia – akan menjadi ancaman bagi kehidupan akhirat, artinya sukses hidup didunia akan membawa pada masa depan yang baik di akhirat dengan “jaminan” masuk surga, sebaliknya kegagalan yang tentu berhimpitan dengan kemiskinan dan keterbelakangan akan menjadi “jaminan” pula bagi individu itu masuk neraka.
Upaya untuk merebut kehidupan yang indah di dunia dengan “mengumpulkan” harta benda yang banyak (kekayaan) material, tidak hanya menjamin kebahagiaan dunia, tetapi juga sebagai media dalam mengatasi kecemasan. Etika Protestan dimaknai oleh Weber dengan kerja yang luwes, bersemangat, sungguh-sungguh, dan rela melepas imbalan materialnya. Dalam perkembangannya etika Protestan menjadi faktor utama bagi munculnya kapitalisme di Eropa dan ajaran Calvinisme ini menebar ke Amerika Serikat dan berpengaruh sangat kuat disana.
Weber mendefinisikan semangat kapitalisme sebagai bentuk kebiasaan yang sangat mendukung pengejaran rasionalitas terhadap keuntungan ekonomi. Semangat seperti itu telah menjadi kodrat manusia-manusia rasional, artinya pengejaran bagi kepentingan-kepentingan pribadi diutamakan daripada memikirkan kepentingan dan kebutuhan kolektif seperti yang dikehendaki oleh Kar Marx. Islam pun sebenarnya berbicara tentang kaitan antara makna-makna doktrin dengan orientasi hidup yang bersifat rasional. Dalam salah satu ayat disebutkan bahwa setelah menyelesaikan ibadah shalat, diperintahkan untuk bertebaran di muka bumi ini dalam rangka mencari karunia Allah SWT. Namun dalam Islam ada mekanisme penyeimbangan yang digunakan untuk membatasi kepemilikan pribadi dengan kewajiban membayar zakat, infaq dan shadaqah.
Menurut Max Weber bahwa suatu cara hidup yang teradaptasi dengan baik memiliki ciri-ciri khusus kapitalisme yang dapat mendominasi yang lainnya merupakan kenyataan yang real ketika masa-masa awal revolusi industri, ketika Weber hidup, kenyataan-kenyataan itu mejadi sesuatu yang benar-benar nyata dipraktekkan oleh manusia. Hidup harus dimulai di suatu tempat dan bukan dari individu yang terisolasi semata melainkan sebagai suatu cara hidup lazim bagi keseluruhan kelompok manusia.
Kita perlu mengkritik mengenai teorinya Weber tentang etika protestan dan semangat kapitalis ini. Dalam penelusuran sejarah, ternyata setelah Weber mempublikasikan tulisannya mengenai etika protestan justru keadaan ekonomi masyarakat protestan semakin menurun dan disisi lain mayoritas katolik justru sedang bangkit. Ini adalah bola api yang bisa berbalik membakar teorinya Weber sendiri, karna etika protestan dan semangat kapitalis yang menjadi teorinya tidak dapat dijadikan ramalan masa depan.
Selain membicarakan tentang kaitan antara Protestan dan Kapitalisme, Weber juga membicarakan tentang agama Tiongkok yakni Konfusionisme dan Taoisme, perhatian Weber pada agama ini tampaknya menunjukkan besarnya perhatian Weber atas kenyataan-kenyataan sosial dalam kehidupan manusia. Dalam tulisan-tulisannya yang lain, Weber juga sempat membicarakan masalah-masalah Islam. Hadirnya tulisan tentang Konfusionisme dan Taoisme dalam karya Weber ini dapat dipandang sebagai perbandingan antara makna agama di Barat dan di Timur. Ia banyak menganalisa tentang masyarakat agama, tentu saja dengan analisa yang rasional dan handal serta sama sekali tidak ada maksud untuk mendiskriminasikan agama tertentu. Agama Tiongkok; Konfusianisme dan Taonisme merupakan karya terbesar kedua dari Weber dalam sosiologi tentang agama.
Weber memusatkan perhatiannya pada unsur-unsur dari masyarakat Tiongkok yang mempunyai perbedaan jauh dengan budaya yang ada di bagian barat bumi (Eropa) yang dikontraskan dengan Puritanisme. Weber berusaha mencari jawaban “mengapa kapitalisme tidak berkembang di Tiongkok?” dalam rangka memperoleh jawaban atas pertanyaan sederhana diatas, Webar melakukan studi pustaka atas eksistensi masyarakat tiongkok. Bagaiman eksistensi itu dipahami Weber dalam rangka menuntaskan apa yang menjadi kegelisahan empiriknya, maka yang dilakukana adalah memahami sejarah kehidupannya,
Dalam berbagai dokumen yang diteliti oleh Weber, bahwa masyarakat Tiongkok memiliki akar yang kuat dengan kehidupan nenek-moyang mereka sejak tahun 200 SM,
Tiongkok pada saat itu merupakan tempat tinggal para pemimpin kekaisaran yang membentuk benteng-benteng di kota-kota Tiongkok, disitu juga merupakan pusat perdagangan, namun sayangnya mereka tidak mendapatkan otonomi politik, ditambah warganya yang tidak mempunyai hak-hak khusus, hal ini disebabkan oleh kekuatan jalinan-jalinan kekerabatan yang muncul akibat keyakinan keagamaan terhadap roh-roh leluhur. Hal lainnya adalah gilda-gilda yang bersaing merebutkan perkenan kaisar. Sebagai imbasnya warga kota-kota Tiongkok tidak pernah menjadi suatu kelas setatus terpisah. Namun jika kita cermati dinegara beragamakan Taoisme dan Konfucuisme kini mampu berkembang dan banyak kapitalis dimana-mana mungkin hal itu sudah tidak relevan lagi dengan fakta sosial saat ini.
Pada bagian awal buku ini weber menuliskan tentang politik dan kekuasaan, ada berbagai hal yang menarik untuk diulas bagi banyak teoritik sosial. Tentang Negara Weber mendifinisikan negara sebagai sebuah lembaga yang memiliki monopoli dalam penggunaan kekuatan fisik secara sah, definisi ini menjadi sangat berharga karna sumbangsihnya dalam studi tentang ilmu politik barat modern. Pada bagian satu buku ini diterangkan tentang adanya tiga justifikasi batiniah yang menjadi legitimasi dasar bagi dominasi. Legitimasi dasar bagi dominasi ini yang pertama ialah otoritas atas masa lalu abadi atau sering disebut sebagai dominasi tradisional, karma disini ada otoritas atas adat istiadat yang dikeramatkan. Otoritas seperti ini dipakai patriach dan penguasa patrimonial dimasa lalu, salah satunya adalah adat yang mengangkat seorang pemimpin atas dasar darah keturunan atau dari suku tertentu. Yang kedua merupakan otoritas kharismatik diantaranya; ketaatan personal absolut dan keyakinan personal pada wahyu, heroisme, atau bisa juga kualitas lain yang istimewa dari kepemimpinan individual. Sebagai contohnya seperti yang diperaktikan seorang Nabi, pangliama perang terpilih, atau pemimpin-pemimpin politik yang memang mempunyai sebuah kharisma. Yang ketiga merupakan dominasi karma legalitas, dominasi ini didasari oleh sebuah hukum yang memang sudah terbentuk. Legalitas ini timbul karena keyakinan pada keabsahan statula legal dan komnpetensi fungsional yang beralas pranata yang dibuat secara rasional. Contohnya pemimpin yang dipilih secara demokratis melalui pemilu yang berdasarkan undang-undang yang berlaku seperti halnya Negara kita dan Negara-negara lain yang demokratis.
Ada yang perlu dikritik dalam karya Weber mengenai perkembangan rasionalisasi hukum, menurutnya perkembangan hukum diawali pewahyuan ala kharismatik, tahapan ini merupakan penciptaan hukum dari ketiadaan hukum sama sekali. Tahapan ini ditandai dengan mode bersifat kharimatik. Tahapan yang kedua menurut Weber adalah penciptaan hukum secara empiris, pengadaan hukum empiris ini tercipta melalui proses teknis yang merupakann kreatifitas manusia itu sendiri, tahapan kedua ini ditandai dengan metodenya yang bersifat empirical. Selanjutnya adalah tahapan imposition atau pembebanan hukum oleh kekuatan-kekuatan sekuler, dan yang terakhir merupakan tahapan profesional, artinya hukum yang dibuat oleh orang-orang yang benar-benar mempunyai kemampuan didalamnya karna mereka mendapatkan pendidikian formal dengan metode ilmiah dan logis formal. Kesimpulanya Weber melihat masyarakat selalu akan berkembang dari kharismatik tradisional menuju tahapan-tahapan yang sudah ditentukan diatas. Tapi jika kita melihat berbagai perkembangan hukum, proses itu tak berjalan linier menaiki tangga secara berurutan, justru perubahannya bisa saja terjadi secara gradual atau acak. Hal ini bisa ditemukan pada kondisi masyarakat yang mengalami revolusi. Ditengah-tengah dunia modern kita masih menemukan fakta banyaknya masyarakat tradisional yang begitu kesulitan dalam menyesuaikan hukum yang mengikatnya oleh hukum formal yang diciptakan negara, ini mengakibatkan kementalan antara kualitas hukum dan kualitas masyarakat, alasannya adanya masyarakat yang tak bisa mencerna hukum sehingga terjadi pemboikotan secara tidak langsung.
Ada kasus yang lebih menarik dikaitkan dengan perkembangan hukum manusia saat ini, contoh beberapa negara yang menggunakan syariat Islam, tentu saja bisa merupakan penolakan mentah-mentah atas teorinya Weber. Apa yang disebut sebagai hukum tuhan yang berpedoman pada wahyu dari teks-teks suatu kitab suci masih berlaku sepanjang zaman yang dijadikan hukum manusia saat ini. Tentu tidak serta merta dapat dikatakan ketinggalan, karna berada pada tahap satu dari perkembangan manusia yang diungkapkan Weber sebelunya, justru kharismatik tradisional mapu melampaui hukum manusia profesiaonal sekalipun.
Buku ini bisa di ibaratkan pohon yang memiliki beberapa tandan buah, beberapa tandan dari buku yang berkafer biru ini diantaranya mengulas tentang agama, kekuasaan, ilmu pengetahuan dan politik. Pada bagian yang kedua dalam buku ini merupakan esai tentang kekuasaan, didalamnya ada banyak sekali pembahasan diantaranya mengenai struktur kekuasaan, mengenai kelas social, status dan partai, juga birokrasi.
Weber selain dari salah satu pendiri ilmu sosiologi juga merupakan pendiri administrasi Negara modern, dalam karyanya weber banyak menulis tentang ekonomi dan pemerintahan. Kaitannya dengan birokrasi weber mengutarakan banyak hal termasuk didalamnya tentang karakteristik sebuah birokrasi. Ada beberapa karakteristik sebuah birokrasi yang merupakan kepiawaian modern yang berfungsi secara spesifik diantaranya : adanya prinsip area yurisdiksional yang sudah ditetapkan dan resmi, adanya prinsip-prinsip hirarki jabatan dan tingkat-tingkat kewenangan, manajemen yang yang didasarkan pada dokumen-dokumen tertulis juga adanya menejemen yang benar-benar terspesialisai. Pada bagian yang tak kalah pentingnya, Weber mengulas bagaimana pemangkuan jabatan itu merupakan sebuah panggilan. Hingga pada sebuah kesimpulan Weber melihat birokrasi sebagai contoh klasik rasionalisasi.
Cukup banyak yang bisa ditemukan dari ide-ide cemerlang Max Weber mengenai birokrasi, sehingga saya pikir ini adalah PR bagi pembaca untuk dapat menghatamkan tulisan dalam buku yang penuh makna ini. Bagian ini memang merupakan acuan mengapa Weber dikatakan sebagai salah satu pendiri adanya administrasi modern.
Buku ini merupakan jendela melihat masa lalu untuk memahami kerangka teoritik Weber. Ia tak kalahnya dengan hantu tua Karl Marx bahkan ia menjadi salah seorang yang membalikan perspektif teoritik Marx. Diantaranya ketika Weber mengatakan pada suatu kesimpulan bahwa faktor material bukanlah satu-satunya faktor yang dapat mempengaruhi gagasan, namun sebaliknya gagasan itu sendiri mempengaruhi struktur material. Weber juga mencoba melengkapi kekurangan dari marx terbukti didalam karyanya mengenai stratifikasi dimana stratifikasi sosial diperluas hingga mencakup stratifikasi berdasarkan prestis, status atau kekuasaan. Pada dasarnya karya Weber lebih menekankan tentang proses rasionalisasi yang selalu mendasari semua teoritiknya.
Isi buku yang diterbitkan oleh pustaka pelajar ini mempunayai bobot nutrisi kaya teori, namun tingkat kesulitan dalam memahami bagaimana inti permasalahannya menjadi kendala utama dalam menguasai teori dalam buku ini. Masalah seperti ini memang sering kita temui ketika membaca karya-kaya terjemahan asing. Banyak para tokoh yang menjelaskan teori weber ini dalam bahasa yang sangat sderhana sehingga mudah untuk dipahami, Weber merupakan penulis yang paling buruk dibandingkan dengan tokoh sosiologi lain dalam menjelaskan ide gagasannya, makanya banyak kalangan begitu kesulitan menangkap pemikiran Weber sehingga lebih memilih buku yang sudah dianalisa oleh tokoh lain sesudah Weber. Namun dibalik itu semua Weber mempunyai ide yang cemerlang, ia mempunyai pemikiran yang hebat yang bisa ditemukan dalam buku ini. Kerumitan dalam memahami buku sosiologi Max Weber ini dapat diatasi dengan kesungguhan mempelajarinya.
Buku ini seperti sebuah sumur yang dalam, dengan air sebagai gambaran dari teorinya yang tak pernah kering sepanjang masa. Gagasan Max Weber seakan tak pernah surut menghadapi musim silih berganti, ditengah-tengah bayak teoritis baru bermunculan justru ia dapat berjasa dalam perkembangan sosiologi sepanjang zaman.
Menurut hemat penulis, buku ini sangat penting dibaca oleh Dosen, Mahasiswa, pemerhati masalah-masalah agama, politik, birokrasi dan siapa saja yang memiliki perhatian pada dunia ilmu. Buku ini tidak hanya menjadi “wajib’ dibaca oleh ilmuan-ilmuan sosial, melainkan mereka yang concern pada masalah-masalah agama dan politik.
Saripuddin adalah Mahasiswa Program Studi Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial Humaniora, Universitas Islam Negeri (UIN) Sunanan Kalijaga, Yogyakarta